Sebuah memoir pertama dari seorang tentara Jepang yang memilih berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Sarat dengan kisah-kisah kepahlawanan yang membahana.
Tahun 2001, dunia sinema tanah air pernah diramaikan dengan munculnya Merdeka 170845. Film yang merupakan produksi bersama Tokyo Film Production dan Rapi Film itu, berkisah tentang dua serdadu Jepang yang membelot dan berpihak kepada perjuangan orang-orang Indonesia. Namun di tanah air sendiri, peredaran film tersebut justru terjegal. Pemerintah Indonesia tidak berkenan karena menilai beberapa adegannya merendahkan harga diri bangsa. Dan belakangan banyak juga kritikus film curiga, Merdeka 170845 tak lebih sebagai upaya membangkitkan kembali semangat chauvinism oleh kelompok kanan di Jepang.
Kini sesudah sepuluh tahun terjegalnya Merdeka 170845, kisah yang sama kembali muncul. Tapi kali ini berwujud dalam sebuah buku memoir berjudul Mereka yang Terlupakan yang ditulis oleh Hayashi Eiichi, seorang anak muda Jepang yang sejak 2004 aktif meneliti sejarah keterlibatan militer negaranya di Indonesia.
Menurut Asvi Warman Adam, selama 1945-1949 ada kurang lebih 1000 serdadu Jepang telah melakukan desersi. Mereka bergabung dengan berbagai kelompok perlawanan Indonesia dan terlibat langsung dalam pertempuran dengan tentara Belanda. “Di Jepang…Mereka disebut prajurit yang tetap tinggal di belakang (zanryu nihon hei).”tulis sejarahwan yang memberi kata pengantar dalam buku tersebut.
Hayashi Eiichi mengangkat kisah kehidupan salah satu zanryu nihon hei itu. Namanya Rahmat Shigeru Ono (terlahir dengan nama Sakari Ono), seorang anak petani dari pulau Hokkaido. Kisah terseretnya Ono oleh arus perang bermula saat ia dinyatakan lulus dari Rikugun Kyodo Gakko (sekolah militer Angkatan Darat). “Pada waktu itu ada tawaran kepada kami untuk bertugas ke daerah selatan. Saya mendaftarakan diri dan langsung diterima,”ujar lelaki yang lahir pada 26 September 1919 tersebut. Sejak itulah, Ono menjadi salah satu “sekrup” mesin perang Kekaisaran Jepang. Pengalaman tempurnya dimulai dari Saigon, Singapura hingga akhirnya pada 1942, ia didamparkan di bagian barat Jawa untuk menumpas tentara Belanda.
Usai bertempur dengan tentara Belanda di Jawa, Ono dan kawan-kawannya praktis tidak pernah mencium lagi hawa perang. Alih-alih bertempur, saat bertugas di Bandung, ia malah menyaksikan kawan-kawannya seolah terbius oleh hawa tropis pulau Jawa: “Mereka hanya pergi untuk minum-minuman beralkohol dan bersenang-senang dengan wanita penghibur. Saya sangat kecewa melihat mereka”kenangnya.
Sementara itu, kekalahan demi kekalahan terus dialami oleh tentara Jepang di medan perang Pasifik. Puncaknya terjadi pada 15 Agustus 1945, saat suatu pagi mereka diberitahu sang komandan bahwa Jepang telah takluk kepada Sekutu. Ono dan kawan-kawannya lunglai. Antara marah, kecewa, sedih, bercampur menjadi satu.
Perasaan kecewa yang sangat dalam membuat Ono memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sebagai tentara Jepang. Tidak lewat hara-kiri seperti sebagian kawan-kawannya tapi justru dengan memutuskan untuk bergabung dengan para “tentara” Indonesia pada suatu hari di akhir tahun 1945. Dari sini, cerita Ono sebagai “petarung” di pihak Republik mengalir.Mulai cerita heroik saat ia bersama kawan-kawan Jepangnya di Pasukan Gerilya Istimewa (PGI) menjadi momok menakutkan bagi tentara Belanda di sekitar kawasan kaki Gunung Semeru hingga saat-saat ia “melarat” ketika menjadi rakyat biasa pasca Belanda hengkang dari Indonesia.
Laiknya memoir, buku ini memang sangat sarat dengan subyektifitas. Jelas sekali, Ono lewat Eiichi Hayashi ingin memberikan pesan bahwa tidak selamanya peran serdadu Jepang di era 1940-an selalu melulu terkait dengan antagonisme sejarah.Buktinya, buku ini begitu “bersih” dari cerita penderitaan para romusha, kepiluan jugun ianfu (para perempuan pribumi yang dipaksa menjadi pelampiasan seks tentara Jepang) dan kekejian Kempetai (polisi rahasia tentara Jepang).
Ketika membaca baris demi baris kisah dalam buku ini, selain heroisme, tadinya saya berharap bisa mengetahui cara pandang berbeda dari para tentara Jepang “yang memilih untuk tinggal” itu terhadap “citra buruk” mereka dalam sejarah Indonesia selama ini. Namun alih-alih mendapatkan “pengakuan jujur”, saya malah mendapat kesan Ono ingin “menghindari” soal ini dengan mengatakan:…”hampir tidak ada kontak atau komunikasi antara tentara Jepang dengan rakyat Indonesia…Penduduk daerah setempat sangat ramah tamah dan menerima kedatangan tentara Jepang… Para tentara Jepang adalah orang-orang kate dan berkulit kuning yang diramalkan Prabu Joyoboyo akan melepaskan pendudukan Indonesia dari kekejaman bangsa-bangsa berkulit putih…dan bla bla bla.
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada 1000 prajurit Jepang yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, saya pikir berbagai “sisi gelap” itu seharusnya disebutkan juga dalam buku ini. Bukan untuk pemuasan akan dendam sejarah namun sebaliknya justru demi kelengkapan sejarah. Bukankah manusia tak selamanya benar dan tak selalu selamanya salah? (hendijo)
Judul: Mereka yang Terlupakan. Penulis: Eiichi Hayashi. Tebal: 178 halaman Penerbit: Penerbit Ombak, 2011
1 Comment so far
Jump into a conversationAkhirnya saya mempelajari juga bagaimana menulis sebuah resensi dari sebuah buku, menarik untuk dibaca berbagai artikel mengenai resensi ini.
Terima kasih