Mitologi atau Kenyataan?

by Desember 11, 2014

Max HavelaarSebuah buku yang dituduh penuh dengan mitos

TAHUN 1990-an, penyair W.S. Rendra pernah membuat sebuah puisi berjudul Demi Orang-Orang Rangkasbitung. Puisi yang ditulis di Bojonggede pada hari kelima bulan November tersebut, berkisah tentang curahan hati imajiner seorang asisten residen mengenai kondisi sosial politik saat itu di Indonesia (tahun 1990-an) yang dinilainya tidak berbeda dengan situasi Keresidenan Lebak di abad 19: penuh penindasan terhadap rakyat kecil.

Sejatinya puisi Rendra yang kerap dibacakan dalam berbagai demonstrasi mahasiswa era Orde Baru tersebut terinspirasi dari Max Havelaar. Itu nama sebuah novel karya Multatuti (nama pena Eduard Douwes Dekker), yang diterbitkan pertama kali pada 1860 di negeri Belanda. Eduard sendiri merupakan mantan Asisten Residen Lebak yang nuraninya merasa terganggu dengan kesewenang-wenangan kaum arsitokrat setempat terhadap rakyat miskin di Lebak (diwakili oleh sosok Saija dan Adinda).

Kemunculan Max Havelaar menimbulkan kegemparan besar yang belum terjadi sebelumnya di negeri kincir angin tersebut. Kendati sebagian pihak menyebut buku itu sebatas karya fiksi yang ciamik, namun penulisnya menegaskan bahwa isinya adalah fakta. Alih-alih mengakui buku tersebut sebagai karya fiksi semata, Eduard malah meminta pemerintah Belanda membuktikan kekeliruan isi bukunya tersebut.

Di parlemen Belanda sendiri, nyaris tidak ada yang berusaha membantah isi novel tersebut. Memang pernah Mr. Van Twist berucap bahwa ia mungkin bisa membuktikan kesalahan Max Havelaar. Namun, dengan alasan “tidak tertarik untuk melakukannya” bantahan itu tak pernah sekata pun dikeluarkan oleh mantan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tersebut.

Berbeda dengan kalangan politisi dan pemerintahan Belanda yang memilih diam menanggapi Max Havelaar, kritik justru berhamburan dari para akademisi negeri tersebut. Beberapa bahkan dengan berani menyebutnya sebagai mitologi. Dalam sebuah artikel yang pernah dimuat oleh surat kabar Suara Pembaharuan pada Senin, 14 Desember 1987, berjudul: Max Havelaar, Mitos Belanda yang Membuat Kita Terkecoh, D.A. Peransi mengutip kata-kata Prof. Veth (Guru Besar di Leiden) yang mengatakan bahwa buku itu bukan roman karena nilai sastranya hanya embel-embel, bukan pula biografi karena tidak memaparkan fakta-fakta sejarah (De Nederlandsche Spectator 1860, hal.182). Kata Veth, Multatuli dalam sosok Max Havelaar, ibarat “orang Jawa yang mengamuk” (de amok makende Javaan).

Kolega Veth, Prof. Buys malah menyebut karya tersebut tidak memiliki disiplin penulisan, (J.T. Buys, Wetenschappelijke Bladen, 1860, III 24,32).Buys menandaskan lagi bahwa Multatuli hanya “mengagungkan dirinya” daripada “berkaitan” pada orang Jawa. Di dalam ” Minnebrieven (1861, hal. 13, 17), Multatuli menulis “ De Javaan wordt mishandeld. Ik zal daaran een eind maken”. Orang Jawa dianiaya, aku akan mengakhirinya. Tekanan terletak pada “aku” dan bukan pada “orang Jawa”. Inilah yang membuat J. Saks dalam tulisannya, Lebak (Groot Nederlan, 1927, I 285/6) menegaskan lagi bahwa “Max Havelaar bukan sejarah akan tetapi suatu pembelaan, bahkan suatu pembelaan untuk diri sendiri”.

Dalam kenyatannya, Eduard Douwes Dekker (Multatuli) memang bukan seorang pegawai pamongpraja yang sukses. Di Natal, Manado dan Ambon dan di pos nya yang terakhi, Lebak (1856) ia dinyatakan tidak sukses sebagai Asisten-Residen. Mengapa kebenciannya terhadap Raden Adipati Karta Natanegara begitu besar dan mendalam? Swath Abrahamsz kemenakannya sendiri yang seorang dokter, menulis bahwa Douwes Dekker, pamannya itu mengidap “neuruasthenie”, yang pada zaman itu diartikan sebagai gangguan kejiwaan. Ditandai oleh perasaan keakuan yang kuat dan ketidak mampuan mengendalikan emosi. ” Nah, di suatu daerah di mana seorang seperti Raden Adipati Kartanegara dianggap raja oleh penduduk, keakuan Douwes Dekker (Multatuli) yang begitu besar tidak dapat menerimanya,” tulis Peransi.

Begitu besar egonya sehingga pada waktu Kern, seorang ahli linguistik dan Quack, seorang ekonom menghimbau agar setelah Max Havelaar terbit, orang Belanda mestinya lebih memperhatikan nasib orang Jawa, Multatuli pun naik pitam. Kern dan Quack dianggapnya musuh karena titik berat mereka jatuh pada “nasib orang Jawa” dan bukan pada “pembela orang Jawa”, yaitu Douwes Dekker (Multatuli) sendiri (idee 1034/5).

Namun terlepas dari pendapat-pendapat miring tersebut, saya pikir apreasiasi tetap harus dipersembahkan kepada karya Eduard Douwes Dekker yang menurut Pramoedya Ananta Toer berhasil “membunuh kolonialisme”. Sebagai manusia, ia bisa saja memang pernah mengalami gangguan kejiwaan atau apapun, namun bisa saja kita juga menilai bahwa pernyataan-pernyataan para akademisi Belanda itu sebagai bentuk bias kolonialisme yang menjadi keniscayaan untuk orang-orang Belanda saat itu. Tentunya kita tak akan lupa kisah Snouck Hurgronje. (hendijo)

Judul       : Max Havelaar
Penulis    : Multatuli (Eduard Douwes Dekker)
Penerbit : Qanita PT Mizan Pustaka
Tebal       : 477 halaman
Cetakan  : Kesatu (2014)

No Comments so far

Jump into a conversation

No Comments Yet!

You can be the one to start a conversation.

Your data will be safe!Your e-mail address will not be published. Also other data will not be shared with third person.