Sebuah film tentang jenderal Indonesia legendaris yang (mungkin) dikerjakan secara terburu-buru.
Pengepungan itu berlangsung sangat mencekam. Ratusan prajurit dari Pasukan Khusus Komando (KST) militer Belanda bergerak pelan namun pasti ke arah rumah kecil di tengah hutan yang ditempati “Panglima Besar Jenderal Soedirman” dan para pengikutnya. Tak ada jalan keluar. “ Tenanglah,” bisik seorang lelaki “berwajah Indo” yang kepalanya dibalut kain blangkon, coba mengatasi kepanikan para anak buahnya.
Dengan berat hati, saya harus menyatakan aktor Adipati Dolken yang memerankan Jenderal Soedirman lebih mirip sinyo yang tengah menyamar dibanding sosok Sang Panglima Besar tersebut. Selain wajahnya yang terlalu kebule-bulean, sikap Dolken juga jauh dari gerak-gerik seorang tentara. Salah satu buktinya, sikap hormat militernya tidak mirip sama sekali dengan apa yang dilakukan oleh tokoh aslinya.
“Aktor Deddy Soetomo dalam film Janur Kuning, jauh lebih baik memerankan sosok Jenderal Soedirman dibanding Dolken,” komentar seorang kawan. Saya setuju pendapatnya.
Sebagai film yang melibatkan keluarga besar TNI AD (Yayasan Kartika Eka Paksi dan Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat), saya juga merasa aneh dengan penggambaran operasi-operasi militer untuk memburu Sang Jenderal dalam film Jenderal Soedirman (JS) ini. Tak ada kesenyapan sebagaimana ciri seharusnya sebuah pasukan komando. Alih-alih bergerak senyap, para prajurit KST (terutama komandannya) digambarkan kerap berteriak-teriak berisik saat melakukan operasi di lapangan. Atau memang mereka beroperasi seperti itu? Jika demikian halnya, tak aneh kalau KST gagal terus menangkap Soedirman.
Selain para tentara Belanda yang digambarkan selalu marah-marah, JS juga sembrono sekali membuat tafsiran-tafsiran sejarah. Bagaimana bisa Tentara Merah yang kalah dalam Insiden Madiun 1948 disebutkan lari dan bergabung dengan Tan Malaka yang dituduh kamerad PKI-nya sebagai trotskys? Itu tidak pernah terjadi dan memperlihatkan para periset sejarah film ini tidak paham konstalasi gerakan kiri saat itu.
Sepengetahuan saya, tak ada para pengkikut FDR PKI yang membelot ke kubu Tan Malaka. Malah menurut Poeze dalam bukunya Madiun 1948, banyak para tentara yang pada September 1948 merupakan simpatisan FDR PKI “dinetralisir” oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman kembali ke tubuh TNI. Salah satunya Letnan Kolonel Soeadi Soeromihardjo yang ditarik oleh Soedirman menjadi Komandan Kawal Pribadi Panglima Besar.
Namun, anehnya sosok Letkol Soeadi tak nampak batang hidungnya sama sekali dalam film ini. Sosoknya yang khas (berbaret hitam dengan sorot mata elang-nya) justru digantikan oleh Kapten Tjokropanolo alias Noly (Ibnu Jamil). Tentu saja saya tidak mengatakan peran Kapten Noly (yang pernah dekat dengan Soeharto di era Orde Baru) tidak penting, tapi menghapus sosok Letkol Soeadi dari sejarah perjalanan gerilya Jenderal Soedirman adalah suatu hal yang tidak fair.
Mungkin yang sedikit “menghibur” saya dari film ini adalah tokoh Kasrani. Kemunculan pengikut Soedirman yang asalnya maling kelas teri di Pasar Beringharjo ini justru meniupkan ruh yang menjadikan alur cerita bisa terjalin lumayan. Nilai 8 untuk Gogot Suryanto yang memerankan tokoh ini.
Saya paham membuat film sejarah memang bukan pekerjaan mudah. Selain diperlukan biaya besar, juga kejelian para sineas untuk mengeksplorasi sejarah juga sangat diperlukan. Karena itu film sejarah tak bisa dihasilkan dari keterburu-buruan. Kesabaran dan ketelitian dalam riset menjadi hal menentukan baik dan tidaknya film ini kelak. Kecuali pembuatan film ini memang memiliki target-target lain. (hendijo)
Jenderal Soedirman
Indonesia, 2015
Pemain: Adipati Dolken, Ibnu Jamil, Mathias Mucus, Baim Wong, Nuggie, Lukman Sardi
Sutradara: Viva Westi
No Comments so far
Jump into a conversationNo Comments Yet!
You can be the one to start a conversation.