
LETJEN MARINIR HARTONO. Loyalitasnya kepada Soekarno tak diragukan. (foto:dokumenpribadi/milik keluarga besar Hartono)
Loyalis Presiden Sukarno itu tewas dalam kondisi kepala tertembus peluru.
MALAM SEMAKIN LARUT di kawasan Jalan Prof.Dr.Soepomo, Jakarta. Jarum jam hampir menujukan angka sebelas, saat Atit melangkah menuju ruang kerja sang paman: Letnan Jenderal KKo AL(Korps Komando Angkatan Laut) Hartono. Maksud hati ingin berpamitan untuk pulang ke rumahnya di Tanjung Priuk, namun apa daya belum sempat meraih gagang pintu, gadis kecil belasan tahun yang masih duduk di bangku SMP itu tiba-tiba dikejutkan oleh suara tangan menggebrak meja, disusul oleh bentakan keras sang paman: “Saya hanya takut kepada Saptamarga!”
Saptamarga adalah tujuh pasal yang harus dipatuhi oleh para prajurit TNI (Tentara Nasional Indonesia). Dalam setiap upacara militer, pasal-pasal itu kerap dibacakan dan menjadi pengingat bahwa mereka terikat pada sumpah tersebut.
Alih-alih melanjutkan niatnya, Atit malah memutuskan untuk balik badan saja. Ia mafhum, sebagai seorang pejabat, pamannya itu pasti sedang sibuk membicarakan hal-hal penting terkait pekerjaaannya sehari-hari. Terlebih saat itu, ia tahu ada beberapa orang yang nampaknya tamu penting tengah dihadapi oleh pamannya. Singkat kata, malam itu Atit pun pulang ke Tanjung Priuk tanpa sempat bertegur sapa dengan Hartono.
Tengah malam telah berlalu. Hari memasuki Rabu, 6 Januari 1971. Sekitar jam satu, Hartono keluar dari ruang kerja dan meminta pembantu rumah untuk membuatkan kopi sebanyak dua cangkir. Selanjutnya, tak jelas apakah pesanan kopi itu jadi disuguhkan atau tidak.
“Pembantu rumah yang semula mengaku dipesani untuk membuat dua cangkir kopi oleh suami saya, pada perkembangan selanjutnya justru menyangkal pengakuannya tersebut,” ujar Grace Barbara Walandaow (76) yang tak lain adalah istri dari Hartono.
Tewasnya Hartono pertama kali diketahui oleh Nyonya Prawirosoetarto (ibunda Hartono) saat menjelang adzan subuh. Lazimnya setiap pagi, ia bergegas menuju dapur untuk ikut menyiapkan sarapan. Saat menuju dapur inilah, sekilas perempuan sepuh ini melihat Hartono tengah berbincang-bincang dengan dua tamunya di ruang kerja yang pintunya terbuka.
Namun baru saja akan bersiap-siap membuat sarapan, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara kaca pecah yang datang dari tempat Hartono tengah berbicara dengan dua tamunya tersebut. Tanpa ba bi bu, Nyonya Prawirosoetarto bergegas lari ke depan dan begitu menyaksikan pemandangan di ruang tamu, lemaslah sekujur tubuhnya…
“Saya temukan Hartono terduduk di kursi dengan darah membasahi bagian belakang kepala. Di sampingnya kaca jendela pecah berantakan kena tembakan…”demikian pengakuan Nyonya Prawirosoetarto seperti dicatat oleh Julius Pour dalam G30S, Fakta atau Rekayasa.
Loyalis Presiden Sukarno
Di dunia tentara, khususnya di kalangan prajurit KKo AL, Hartono bukanlah nama yang asing. Para prajurit kesatuan elite itu mengenang Hartono sebagai komandan yang memiliki perhatian tinggi terhadap kesehjateraan para anak buahnya. Menurut salah satu mantan ajudannya, Krisna Rubowo, tak jarang secara tiba-tiba ia diajak Hartono untuk berkeliling asrama, memeriksa langsung apakah kebutuhan pokok para prajurit dan keluarganya sudah terpenuhi atau belum.
“Jadi jauh sebelum Jokowi mempopulerkan istilah blusukan, Pak Hartono sudah melakukannya dahulu,” kata pensiunan Kolonel KKo AL tersebut.
Selain perhatian, kharisma dan ketegasan sikapnya, loyalitas Hartono terhadap Presiden Sukarno tak perlu diragukan lagi. ”Hitam komando Bung Karno, Hitam tindakan KKo, putih komando Bung Karno, putih tindakan KKo…”katanya dalam sebuah pidato di depan anak buahnya.
Kata-kata Hartono itu sesungguhnya bukan sekadar gertak sambal atau isapan jempol belaka. Buktinya, saat Jakarta “dikuasai” kelompok Letnan Jenderal Soeharto cs pasca Gerakan 30 September yang gagal tersebut, dari basisnya di Surabaya, Hartono konon sudah menyiapkan 30.000 prajurit KKo untuk menggempur ibu kota. “Akan tetapi, Presiden Sukarno tidak pernah mengeluarkan komando yang sedang mereka tunggu-tunggu tersebut…” tulis sebuah laporan penelitian dari tim Insititut Studi Arus Informasi (ISAI) yang berjudul Bayang-Bayang PKI.
Bahkan seolah ingin meyakinkan Presiden Sukarno akan kekuatan para loyalisnya, tepat pada peringatan ulang tahun Bung Karno yang ke-65 (6 Juni 1966), KKo AL secara besar-besaran melakukan “unjuk gigi” di Surabaya. Selain mengerahkan hampir seluruh pasukan, semua senjata berat mutakhir saat itu seperti tank dan amphibi juga dikeluarkan untuk melakukan pawai keliling Surabaya.
“Barisan pasukan tersebut diikuti ribuan massa, panjangnya sampai 30 km…”tulis Jenderal Soemitro dalam Perjalanan Seorang Prajurit Pejuang dan Profesional : Memoar Jenderal TNI (Purn.) Soemitro (Saleh A. Djamhari ; editor Soegiarto, Ramadhan Kartahadimadja).
Barisan prajurit KKo dan massa rakyat itu berpawai dalam “semangat yang menggila”. Aksi-aksi provokatif pun dilontarkan mereka terhadap instansi-instansi yang dinilai pro Soeharto. Sebagai contoh, saat dengan sengaja barisan tersebut melewati rumah dinas Panglima Kodam Brawijaya di Jalan Raya Darmo, massa secara bergelombang menyerukan kata-kata: “Bung Karno Jaya! Bung Karno Jaya!”
Sebelumnya Hartono juga sempat memerintahkan 2 batalyon KKo untuk membuka pos taktis di Yogya, menyusul maraknya aksi menentang Bung Karno di kota gudeg tersebut. Menurut Julius Pour, inilah bentuk “tantangan” Hartono untuk Soeharto yang saat itu juga tengah mengerahkan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) ke Yogya untuk memburu orang-orang PKI dan para Sukarnois.
Banyak kalangan yang menyebut loyalnya Hartono kepada Bung Karno terkait soal ideologi. Kendati seorang militer, Hartono disebut diam-diam adalah seorang penganut marhaenisme garis keras. Soal ini dibantah oleh Nenny Hartono. Menurut putri ketiga dari Hartono tersebut, kesetiaan sang ayah terhadap Presiden Sukarno semata-mata hanya karena disiplin tentara.
“Papa itu seorang tentara tulen. Ia enggak peduli politik. Karena yang ia tahu Bung Karno adalah pimpinan tertinggi Angkatan Bersenjata yang segala perintahnya harus dituruti sesuai saptamarga, maka siapapun yang melawan Bung Karno maka ia akan menjadi musuhnya pula,” ujar Nenny.
Hal ini juga diakui oleh Grace Walandaow. Menurut perempuan Manado kelahiran Surabaya itu, suaminya memang tak pernah menampik tugas apapun yang dibebankan kepada dirinya. Ketika di akhir tahun 60-an, Hartono “didubeskan” oleh Soeharto ke Korea Utara, ia tak mengeluh atau berniat menolak perintah tersebut. “Saya tak berhak menolak perintah atasan. Saya ini seorang tentara,”ujar Grace menirukan ungkapan sang suami kepadanya.
Diasingkan Jakarta
Ketika dikabari oleh Krisna Rubowo tentang meninggalnya sang suami, pada awalnya Grace dan keempat putrinya yang berada di Pyongyang sama sekali tak percaya. ” Ya bagaimana mau percaya, ia waktu terakhir pergi dari Pyongyang ada dalam keadaan sehat waalfiat,”ungkap Grace.
Namun setelah diyakinkan oleh Krisna, Grace akhirnya percaya. “Bu Grace menerima kabar itu dengan sangat tegar,” kenang Krisna.
Sebelumnya, kepada Grace, Hartono berpamitan akan berangkat ke Tokyo untuk mengikuti pertemuan para duta besar Indonesia se-Asia Pasifik di sana. “Sebelum ulang tahun Mama, saya pasti pulang,”janjinya.
Tapi manusia hanya bisa berencana. Begitu sampai Tokyo dan bertemu dengan beberapa rekan KKo-nya yang juga

DIANGKAT JADI DUBES. Letjen Marinir Hartono usai upacara pengangkatan dirinya sebagai duta besar RI untuk Korea Utara (dokpribadi/milik keluarga besar Hartono)
“didubeskan” (diantaranya Laksamana Mulyadi), Hartono mendengar “kabar miring” sekitar KKo AL. Selain mendengar kabar “penciutan” kekuatan KKo, ia juga diberi informasi tentang adanya Operasi Lumba-Lumba. Itu adalah upaya pemerintah Soeharto membersihkan Angkatan Laut dari anasir PKI dan pendukung Bung Karno. Hartono berang. Ia lantas memutuskan usai pertemuan, tidak pulang ke Pyongyang namun langsung ke Jakarta untuk memastikan soal ini dan jika perlu memprotes keputusan tersebut.
Ketika sampai di Jakarta, “situasi aneh” mulai dirasakan Hartono. Tidak seperti kebiasaan pejabat tinggi negara pada umumnya yang selalu mendapat jemputan begitu tiba di Bandar Udara Kemayoran Jakarta, saat itu Hartono sama sekali sonder jemputan sopir terlebih pengawalan khusus. “Ia seolah mulai diasingkan oleh Jakarta,”ujar Krisna. Ia baru bisa pergi dari bandara menuju rumahnya ketika secara kebetulan bertemu dengan salah seorang sopir dari AL yang selesai mengantarkan seorang tamu.
Menurut Els J. Item (sepupu Grace), selama di Jakarta, Hartono banyak bertemu dengan beberapa kalangan penting. Mulai bertemu Laksamana Sudomo (KASAL) hingga menemui Soeharto yang saat itu sudah menjadi presiden. Ia juga ditenggarai bertemu dengan beberapa tokoh intelijen seperti Yoga Sugama dan Ali Moertopo. “Bahkan sebelum ke Jakarta, ia sempat ke Bangkok untuk bertemu dengan H.R. Dharsono yang dikenal sebagai tukang kritik Bung Karno. Ada apa dua perwira tinggi yang memiliki pandangan berbeda saling bertemu?”ungkap jurnalis sepuh yang selama sisa usianya seolah tanpa lelah terus melakukan penyelidikan terkait pembunuhan suami sepupunya tersebut.
Tak jelas apa hasil dari pertemuan-pertemuan tersebut, kecuali pada 6 Januari 1971, Hartono memutuskan untuk balik ke Pyongyang. Namun beberapa jam sebelum ia menaiki pesawat, sebutir peluru keburu menghabisi hidupnya. Sang loyalis yang sedang marah dan kecewa itu akhirnya terbungkam.
Bunuh Diri atau Dibunuh?
Grace sendiri dan keempat putrinya baru bisa pulang ke Jakarta, dua minggu setelah sang suami dikebumikan di Taman Malam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Maklum saja, pesawat rute Pyongyang-Moskaw-Singapura-Jakarta hanya ada sekali penerbangan dalam dua minggu.
Ketika melukisakn kedatangannya ke Jakarta 43 tahun lalu itu, Grace mengenangnya sebagai persitiwa yang tidak menyenangkan. Dalam situasi berduka, dari Bandara Udara Kemayoran, ia langsung dilarikan petugas dari Corps Polisi Militer (CPM) ke Mess Perwira Tinggi AL di Kwini guna menghindari kejaran para wartawan.
“ Beberapa media saat itu menyebut saya tak mau memberikan keterangan apapun. Yang benar saya tidak diberi kesempatan untuk berbicara dengan wartawan,”kenang Grace.
Saat di Kwini, dua perwira tinggi AL yakni Laksamana Sudomo dan Laksamana Madya TNI. H. L. Manambai Abdulkadir datang menemui Grace. Dalam pertemuan itu, tercetuslah “versi Sudomo” tentang penyebab kematian Hartono.
“ Grace, ini sudah jelas ia…”ujar Sudomo seraya memperagakan dengan tangannya adegan seseorang menembak kepala dengan sepucuk pistol. Sudomo berkilah Hartono nekat bunuh diri karena kekecewaannya terhadap keputusan pemerintah yang menciutkan KKo
“ Tapi walau demikian, biar keluarga dan anak-anak senang, kami akan memakamkan Pak Hartono di Kalibata, “ ujar Abdulkadir.
Grace naik pitam. Dengan menahan marah, ia kemudian berkata kepada dua lelaki yang tak lain rekan suaminya di AL tersebut: “ Saya tidak peduli ia dimakamkan di mana. Sekalipun ia dimakamkan di depan rumah, saya tidak masalah. Apapun yang terjadi dengan Hartono, ia adalah tetap suami saya dan ayah dari keempat putri saya.”

DIMAKAMKAN DI KALIBATA. Jenazah Letjen Marinir Hartono saat diusung menuju tempat peristirahatan terakhir di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan (dok pribadi/milik keluarga besar Hartono)
Hingga kini, Grace dan seluruh keluarga besar Hartono tak pernah mempercayai kata-kata Sudomo dan Abdulkadir tersebut. Bagi mereka, sangat naïf jika karena urusan “penciutan” tersebut, Hartono lalu nekat mengakhiri hidupnya. “Tentunya saya hafal sekali Hartono. Bukan gaya dia melakukan itu jika ada masalah, walau separah apapun situasinya,”ujar Grace.
Grace memang wajar menyangsikan Hartono nekat menembakan Makarov berperedam suara itu ke kepalanya sendiri. Ia malah menyebut pistol yang ditemukan tergeletak di meja usai Hartono terbunuh, bukan sebagai milik suaminya. “Saya tahu pistol yang selalu dibawa suami saya adalah jenis FN,”ungkapnya. Selain itu, pihak keluarga besar Hartono juga mempertanyakan pihak CPM yang tak membawa jasad Hartono ke Rumah Sakit Angkatan Laut (RSAL) namun ke Rumah Sakit Pusat Angkatran Darat (RSPAD).
“Padahal jarak rumah kami dengan RSAL lebih dekat dibandingkan ke RSPAD,”kata Grace.
Hasil otopsi dari RSPAD pun tak pernah mereka dapatkan. Bahkan alih-alih surat hasil otopsi, barang-barang milik almarhum yang dibawa pihak aparat pun tak juga dikembalikan sampai sekarang. “Termasuk kaset lagu anak-anak Chicha Koeswojo yang akan Papa hadiahkan buat kami, ikut raib juga,”kenang Nenny Hartono.
Dipulangkannya jasad Hartono dalam kondisi sudah berpeti dan dilarang dibuka kembali, menjadikan keluarga besar Hartono semakin curiga bahwa kematian sang jenderal tidak wajar. Menurut Els J. Item, ia yakin bahwa Hartono memang sengaja dibunuh.
“ Usai peristiwa itu dan sebelum kedatangan petugas CPM untuk kedua kalinya, saya sempat ke ruangan Hartono dan melihat ada lubang bekas tembakan di lemari dekat jendela,” ujar perempuan yang kini berdomisili di Amerika Serikat tersebut. Lalu bagaimana sikap KKo sendiri atas tewasnya Hartono?
Di bawah Kasal Laksamana Sudomo, ada kesan sikap KKo AL tidak transparan terhadap peristiwa tersebut. Alih-alih meminta kasus itu diseldiki secara tuntas, lima bulan kemudian, Markas Besar KKo AL malah mengeluarkan Surat Keterangan No:343/BPERS/KKO/1971.
Di surat keterangan kematian sekaligus penegasan pemberhentian Hartono dari AL itu hanya disebut yang bersangkutan: “…telah meninggal dunia pada hari Rabu 6 DJANUARI 1971, dan telah diberhentikan dari dinas Angkatan Laut berdasarkan Berita-Pos Kasal No.P/5/4/12 tanggal 13 APRIL 1971…”demikian salah satu bunyi surat keterangan yang ditandatangani Mayor (KKo) Tri Soewarto selaku Perwira Bagian Personil Korsp Komando Angkatan Laut Republik Indonesia. Selanjutnya tak ada kabar lain. Kasus tewasnya Hartono seolah sengaja dilupakan begitu saja.
Kepada Els J. Item, pengamat militer Indonesia Ken Conboy malah pernah menyatakan keheranannya ketika akan memeriksa arsip-arsip riwayat Hartono di Markas Besar ABRI. Di sana, ia tak menemukan satu berkas pun “ Cuma ada namanya saja tapi isinya kosong. Lalu kemana? Ya data-data Hartono bisa jadi sengaja dihilangkan,” ujarnya kepada saya beberapa waktu lalu.
Namun demikian diam-diam banyak petinggi KKo AL (selanjutnya berubah menjadi Korps Marinir AL) terkesan kurang percaya terhadap versi Sudomo dan pemerintah (disampaikan oleh Menlu Adam Malik saat itu) bahwa kematian Hartono karena pendarahan otak. “…bukti yang ditemukan tidak mendukung motif untuk melakukan bunuh diri,”ujar Letnan Jenderal (Marinir) Kahpi Suriadireja, Komandan Jenderal Marinir 1977-1983 kepada program Lacak di Trans TV pada 2004,
Dalam program yang sama, sesepuh KKo AL Letnan Jenderal (KKo) Ali Sadikin juga menyatakan ketidakperacayaannya terhadap keterangan resmi pemerintah tersebut. Ia bahkan mengatakan lebih gamblang: “Saya mendapat informasi bahwa Hartono dibunuh akibat terjadinya konspirasi tingkat tinggi,”kata mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut.
Empat tahun setelah pernyataan para sesepuh Marinir di Trans TV itu, Mayjen (Marinir) Nono Sampono seolah memuncaki “ketidakpercayaan” korps elite AL itu terhadap isu sumir kematian sang senior 37 tahun sebelumnya. Dengan bangga, mereka mengabadikan nama “Hartono” untuk nama kesatriaan Markas Korps Marnir di Cilandak. ” Saya yang didaulat untuk ikut membuka secara resmi penyematan nama tersebut,”kenang Grace.
Kembalinya nama “Hartono” di lingkungan AL memang seolah sudah seperti suratan takdir. Seperti kata sebuah pepatah: pada akhirnya kehormatan memang selalu datang untuk yang berhak. (hendijo)
18 Comments so far
Jump into a conversationDark history…hope it’ll never happen again
Pak Hartono adalah paman dari sahabat saya sewaktu kuliah S1, sahabat saya sudah lama mengungkapkan kasus aneh tersebut. Melawan lupa seharusnya bisa diselidiki kembali untuk mengungkap fakta pembunuhan tersebut
Hormat kami pada para pelaku kebaikan dalam sejarah negeri ini. Pada akhirnya kehormatan memang selalu datang untuk yang berhak.
Termasuk kaset lagu anak-anak Chicha Koeswojo yang akan Papa hadiahkan buat kami, ikut raib juga,”kenang Nenny Hartono.
Tolong dicek, kl beliau meninggal 1971, saya kok ragu ada kaset Chicha Koeswoyo
Bung Aji anda betul, Chica Koeswoyo memang baru tenar pada sekitar tahun 1976. Pak Hartono memang meninggal pada 1971. Saya pikir penyebutan tahun 1976, tak lebih karena nara sumber saya (Mbak Nenny Hartono) sepertinya lupa nama artis kanak-kanak yang kasetnya akan diberikan kepada dia. Yang jelas pastinya memang bukan Chica Koswoyo. Terimakasih atas koreksinya.
Betul, dlm riwayatnya Chica Koeswoyo lahir tahun 1968. Jadi bila thn 1971 Chica baru berumur 3 tahun …. apa sdh masuk dapur rekaman?
Catatan sejarah yang menarik, mas Hendi Jo. Salah satu kisah kelam Orde Baru membungkam para penentangnya.
Salam,
Osa KI
Terimakasih Bung Osa 🙂
mas Hendi, saya kebetulan pada siang hari ini, bisa menemui dan baca tulisan anda pd akhir 2014 yl. Bagus, semoga bsa menggungah ingatan bangsa, bhwa kita (terutama Marinir) pernah memiliki Jendral hebat yg secara “merangkak” dilupakan, yang sebagai rangkaian korban perang dingin serta kepentingan lain yang terkait..
HARTONO ADALAH CONTOK KESATRIA SEJATI YG TAK SUDI DIPERMALUKAN DEPAN UMUM YATU DIMAHMILUBKAN. DIMANA PARA ANAK BUAH ATAU ORANG-ORANG YG LEBIH RENDAH PANGLKATNYA ” MENGERE-ERETNYA” . “LEBIH BAIK BERPUTIH TULANG DARIPADA BERPUTIH MATA.” DEMIKIAN KATA TERAHIR LETJEN HARTONO.
Melawan lupa kasus pembunuhan Jendral Hartono seharusnya diselidiki kembali. Pak Hartono adalah paman sahabat saya sewaktu kuliah di S1
MEMANG BENAR PAK JENDRAL HARTONO MEMANG SEORANG PERWIRA YANG KE MATIANNYA PATUT DI BUKA KEMBALI JANGAN DI TUTUP2I APALAGI DI ERA REFORMASI INI.
Astafirugloh… Saya baru tau ada berita seperti ini, buat saya ini adalah salah satu catatan kelam “Rezim Soeharto” yang patut dibongkar dan dan diselidiki sampai tuntas… Semoga pengorbanan dan amal beliau semasa hidup dapat meringakannya dan diterima disisi Allah SWT
Sangat patut untuk diulas kembali sebagai bentuk pelurusan sejarah yg banyak direkayasa. Kejahatan orba pada generasi muda indoneesia adalah rekayasa sejarah.
itu perbuatan keji kaki tangan orde baru
kenapa orang dulu. masuk penjara dulu baru pake jas. kalo sekarang pake jas dulu baru ke penjara.
Salah satu ‘otak ORBA’ yg ditengarai ‘berbau’ CIA (dan kepercayaan Soeharto) yg memimpin OPSUS…adalah Ali Murtopo YG (dikemudian hari) memimpin delegasi/utusan Soeharto PERDAMAIAN “GANYANG MALAYSIA”.
#…ahirnya Ali Murtopo juga mati musterius….
Semoga ada pelaku perfilman membuat biografi beliou