Bagaimana para saksi sejarah sebuah pembantaian massal coba berdamai dengan trauma masa lalu mereka
HAWA panas menyengat kawasan Pantai Sadari Karawang siang itu. Deretan pohon bakau melambai-lambai disapa angin. Suara debur ombak pantai utara terdengar lembut bersanding dengan bau anyir ikan dari arah kampung nelayan setempat. Di sebuah rumah usang nan rombeng dekat pantai, seorang perempuan uzur tertatih-tatih menyambut kedatangan saya dan dua kawan dari Historika Indonesia: Imam Rachmadi dan Abdul Basyit. Tubuhnya bergetar karena pengaruh usia.
“Hati-hati Nek…” ujar saya seraya memapah tangan kanannya.
“Kita bicara di depan saja, jangan di sini, gelap…” jawabnya dalam bahasa Sunda berlogat pesisir.
Wanti adalah salah satu janda korban pembantaian militer Belanda di Dusun Rawagede 68 tahun lalu. Bersama seorang korban, anak korban dan tujuh janda korban Rawagede lainnya, beberapa tahun lalu ia menggugat pemerintah Belanda ke Mahkamah Kejahatan Internasional (ICC) Den Haag. Setelah melalui jalan berliku, upaya mereka berhasil. Namun apakah itu menjadikan hidup mereka lebih baik?
**
DUSUN RAWAGEDE, 9 Desember 1947…
Tar! Tar! Tar!
Dededet! Dededet!
Penduduk Dusun Rawagede dikejutkan oleh suara stengun dan brengun yang menyalak tiba-tiba dari arah timur pagi itu. Demi mendengar tembakan-tembakan tersebut, kontan para laki-laki yang belum sempat berangkat ke sawah berhamburan ke arah Kali Balong sedang kaum perempuan dan anak-anak justru memilih bertahan di rumah.Wanti yang saat itu tengah hamil tua, bersembunyi di bekas lubang perlindungan zaman Jepang yang ada di bawah rumah panggungnya. Begitu juga dengan kedua mertuanya. Saat berlindung inilah, tiba-tiba ia merasa cemas pada Sarman, suaminya yang saat itu tengah pergi untuk membajak sawah. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa.
Di tempat lain, Telan melakukan langkah seribu ke arah Kali Balong. Pemuda yang dikenal sebagai anggota Lasykar Hizbullah itu lantas berjalan menyisir tepi kali untuk mengamankan diri ke arah Desa Mekarjaya, yang bertetangga dengan Dusun Rawagede.“ Suasana sangat mencekam kala itu. Suara tembakan terdengar diringi jeritan kaum perempuan dan anak-anak kecil,” ujar lelaki kalahiran Rawagede 89 tahun lalu tersebut.
Beberapa waktu kemudian, datanglah sekitar satu kompi serdadu-Belanda berpakaian macan tutul. Mereka adalah anggota Yon 3-9-RI Divisie 7 December, sebagian kecil prajurit 1e Para Compagnie dan 12 Genie Veld Compagnie (keduanya merupakan brigade cadangan dari pasukan parakomando Depot Speciale Troepen) pimpinan Mayor Alphons J.H. Wijnen.
Begitu memasuki dusun, mereka langsung beraksi. Sebagian berjaga-jaga di mulut dusun, sedang sebagian lagi menyebar, mendobrak pintu rumah dan memerintahkan secara kasar agar para penghuninya keluar. “ Para perempuan dan anak-anak mereka biarkan begitu saja, tapi kaum lelaki yang tak sempat lari dikumpulkan dalam beberapa kelompok,” kenang Wanti.
Satu kelompok yang yang berisi 15 laki-laki di jejerkan. Seorang bintara bule lantas menanyai satu persatu orang-orang tersebut dalam nada membentak.
“Di mana Lukas?!”
“ Tidak tahu, Tuan”
“ Kamu tahu Lukas?!”
“ Tidak tahu, Tuan…”
Mendengar jawaban kompak para tawanan, tanpa banyak babibu lagi, seorang serdadu Belanda yang berdiri di bagian belakang para tawanan lantas mengokang senjatanya. Tratatatatatatat…Tratatatatatat…Tratatatatatat Darahpun berhamburan, mengental merah mewarnai bumi Rawagede.
No Comments so far
Jump into a conversationNo Comments Yet!
You can be the one to start a conversation.