
PEMBERSIHAN. Sekelompok warga desa tengah diperiksa oleh Lurah NICA di wilayah Sagaranten, Sukabumi pada 1948 (foto: arsip nasional belanda)
Suatu hari di bulan Mei 1948. Senja mulai memasuki Curug Sawer yang dingin. Suara air terjun bergemuruh memerangi suasana sunyi di kawasan yang terletak dalam wilayah Cianjur Selatan itu. Diapit tebing tinggi dan jurang menganga, iring-iringan konvoi militer Belanda merayap di jalan sempit. Beberapa serdadu bule di dalamnya nampak tegang, sebagian di antara mereka menghisap rokok untuk mengusir rasa takut. Senjata-senjata mereka siap ditembakan.
Begitu jip pengawal iring-iringan lewat, rentetan tembakan berhamburan dari atas tebing-tebing tinggi. Granat-granat melayang dibarengi teriakan nyaring yang membuat suasana semakin mencekam. Di balik sebuah pohon besar, Kopral BM. Permana menembakan Stengun-nya. Begitu juga dengan pimpinan pasukan, Letnan Djadja Djauhari tak henti-henti menembakan pistol seraya memberi komando. Tak terasa setengah jam pun berlalu.
“Mereka akhirnya lari dengan meninggalkan sebuah truk yang berisi sekitar 30 prajurit KL yang langsung kami hantam tanpa ada yang tersisa,” kenang lelaki kelahiran Kebumen, 90 tahun lalu itu.
BM. Permana adalah seorang prajurit muda dari Bataliyon Kala Hitam Divisi Siliwangi. Berbeda dengan sebagian besar kawan-kawannya yang dikirim untuk berhijrah ke Yogyakarta akibat pemberlakuan Perjanjian Renville saat itu, ia justru ditugaskan untuk tetap bertahan di wilayah Cianjur Selatan.
“Tentu saja kami kami tak menggunakan nama Siliwangi lagi, tapi sebagai Kesatuan Patriot Bangsa, ya kalau Belanda sih menyebut kami sebagai “gerombolan liar”,”kata BM. Permana.
Sebagaimana ditulis dalam Siliwangi dari Masa ke Masa (ditulis oleh Sedjarah Militer Daerah Militer VI Siliwangi/Sendam VI Siliwangi pada 1968), hasil kesepakatan Perjanjian Renville memang diterima dengan setengah hati oleh pihak tentara. Kendati pada akhirnya menerima keputusan untuk mengosongkan Jawa Barat, namun secara diam-diam, Panglima Besar Jenderal Soedirman sendiri telah menugaskan Letnan Kolonel Soetoko untuk tetap mengkoordinasikan perlawanan bersenjata di tanah Pasundan.
Lewat Letnan Kolonel Soetoko (akhirnya tertangkap Belanda pada Agustus 1948) inilah kemudian muncul Brigade Tjitaroem, sebagai induk pasukan dari beberapa kesatuan tempur “bekas” Divisi Siliwangiyang di sepanjang Sungai Citarum. Selain Brigade Tjitaroem, ada beberapa bataliyon yang tidak ikut hijrah ke Yogyakarta dan memang secara sengaja “ditanam” di daerah pendudukan.
“Yang saya ingat di antaranya adalah pasukan Mayor Sugiharto di Cililin, pasukan Letnan Effendi di Gentong-Tasikmalaya, pasukan Letnan Tjoetjoe di Gunung Cikuray-Galunggung, pasukan Letnan Zakaria di Bekasi, dan sebagian kekuatan Bataliyon Kala Hitam di Cianjur-Sukabumi…” kata Kolonel (Purn) Eddie Soekardi, sesepuh Siliwangi yang telah mangkat pada September tahun lalu itu.
Aksi rahasia yang dilakukan oleh TNI itu, bukannya tidak tercium oleh pihak militer Belanda. Guna mengantisipasi aksi-aksi yang dijalankan oleh “pasukan liar” tersebut, pihak militer Belanda memutuskan untuk menjalankan operasi-operasi pembersihan di daerah-daerah yang ditinggalkan oleh pasukan Siliwangi.
Salah satu kawasan di Jawa Barat yang dinilai “corak republik”nya masih kental adalah Sukabumi. Di daerah itu, bukan saja propaganda-propaganda pro republik sering berlangsung namun juga penyerangan pos-pos militer Belanda sering terjadi pula. Kadang-kadang terjadi secara sporadis.

HOROR TAKOKAK. Sersan Mayor (Purn) Atjep Abidien, saksi hidup kekejaman perang yang dilakukan militer Belanda di Takokak, Cianjur. (foto:hendi jo)
Kekacauan-kekacauan itu tentu saja menimbulkan kemarahan pihak militer Belanda. Menurut salah seorang saksi sejarah bernama Atjep Abidin (90), tidak jarang usai terjadi penyerangan terhadap pos-pos militer Belanda, operasi pembersihan langsung dilakukan beberapa jam setelah kejadian penyerangan.
“Rakyat sipil dikumpulkan, setelah dintimidasi beberapa kaum lelaki dari mereka diambil dan dimasukan ke penjara militer Van Helden, yang terletak di Gunung Puyuh, Sukabumi” ujar anggota Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Takokak ini.
Menurut Atjep, operasi pembersihan yang paling sering dilakukan yaitu di kawasan Nyalindung dan Sagaranten. Itu bisa saja terjadi, mengingat kedua tempat tersebut memang dikenal sebagai basis fanatik kaum republik. Selanjutnya dari Van Helden, secara berkala, orang-orang yang dinilai militer Belanda sebagai kaum republik itu dibawa ke wilayah Takokak. Itu adalah nama suatu kawasan yang terletak kira-kira 75 km di selatan Cianjur. Sejak zaman Hindia Belanda, kawasan yang berbatasan langsung dengan wilayah Sukabumi itu merupakan daerah perkebunan teh yang memiliki kontur pegunungan serta dipenuhi hutan dan jurang.
Salah seorang mantan gerilyawan di Sukabumi, Yusuf Soepardi (91) mengakui bahwa saat itu nama Takokak sebagai tempat eksekusi mati kaum republik, sudah menjadi rahasia umum di kalangan masyarakat Sukabumi dan Cianjur. “Kalau ada orang Sukabumi atau Cianjur dibawa oleh tentara Belanda ke sana, ya jangan berharap ia bisa pulang lagi ke rumah…” ujar veteran yang di masa-masa tuanya pernah menjadi kuli panggul di Pasar Induk Cianjur tersebut.
Sepeninggal Divisi Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah, sesungguhnya tak ada perubahan situasi yang berarti di Jawa Barat. Pertempuran tetap berlangsung dan penyerangan pos-pos militer Belanda tetap terjadi. Itu dilakukan baik oleh pasukan Siliwangi yang sengaja ditinggalkan di Jawa Barat, maupun oleh pasukan Tentara Islam Indonesia (TII) yang secara resmi menentang Perjanjian Renville. Kondisi tanpa stabilitas tersebut berlangsung hingga para maung Siliwangi pulang kembali ke Jawa Barat menyusul hancurnya kesepakatan Renville pada 19 Desember 1948. Rakyat Pasundan memang tak pernah ikhlas berada di bawah kungkungan Belanda. (hendijo)
No Comments so far
Jump into a conversationNo Comments Yet!
You can be the one to start a conversation.