Gubernur di Tengah Perang

by Desember 24, 2018

Sejak awal kemerdekaan, Soerjo berperan sebagai penjaga eksistensi republik di Jawa Timur. Itu terbukti saat ia menolak untuk menyerah kepada militer Inggris dan memilih mengobarkan perlawanan di Surabaya sebagai harga sebuah kebebasan.

KETIKA mendengar terjadinya pembunuhan terhadap Soerjo pada November 1948, semua orang menundukkan kepala dan menyesali peristiwa tersebut. Bukan hanya, kawan-kawan sehaluan, lawan-lawan politik Soerjo seperti Soeripno pun menyatakan bahwa pembunuhan itu tak seharusnya dilakukan. “Tentang hal ini, kami merasa sangat menyesal,”ujar tokoh teras PKI (Partai Komunis Indonesia) itu.

Soerjo memang dikenal sebagai seorang birokrat Republik yang elegan dan pemberani. Keberanian dan sikap elegan priyayi Magetan itu memang sudah dibawanya sejak dia duduk di bangku OSVIA (Sekolah Pamongpaja Hindia Belanda) Madiun. Menurut Donny Ariotedjo, Soerjo tak segan berkelahi dengan para sinyo Belanda jika itu terkait dengan harga diri bangsanya. “ Kata orang-orang tua kami, Eyang Soerjo bahkan pernah membela kawannya yang akan dikeluarkan karena menolak ikut dalam peringatan bebasnya Belanda dari penjajah Prancis,” ungkap salah satu cucu dari Soerjo tersebut.

Pada dasarnya, Soerjo memang sangat membenci penindasan. Namun berbeda dengan orang-lain, dalam mengekspresikannya, ia selalu menggunakan otak dingin agar tak berakhir konyol. Itu pula yang menjadi jawaban mengapa saat di era orang-orang Jepang berkuasa, ia terpaksa “bekerjasama” dengan pihak militer Jepang. Menurut Wawardi, sebagai seorang pemimpin, banyak rakyat yang menjadi tanggungannya. “ Tapi pada dasarnya ia adalah seorang nasionalis yang baik…” ujar salah seorang sahabat Soerjo itu.

Kepentingan rakyat banyak memang menjadi perhatian utama Soerjo. Ketika bertugas sebagai wedana di Sidorajo pada 1933, banjir tiba-tiba melanda kawasan Porong (masuk dalam Kewedanaan Sidoarjo) dan menimbulkan penderitaan terutama bagi para petani yang mengalami gagal panen. Dengan kejadian itu, Soerjo merasa terpukul dan bertekad untuk mencegah kejadian yang sama terulang. Maka dengan bantuan rakyat, ia langsung terjun memperbaiki tanggul-tanggul yang sudah rusak.

Contoh yang lain, saat menjadi bupati di Magetan pula, Soerjo banyak melindungi rakyatnya dari kesewenang-wenangan militer Jepang. Ia melarang keras kepada warganya terlibat dalam pengumpulan kaum perempuan untuk pemuas nafsu para serdadu  Jepang. Entah segan atau merasa memerlukan peran Soerjo, bala tentara Jepang pun tak pernah berani mengusik pendirian bupati Magetan itu.Bahkan pada waktu pemerintahan pendudukan Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Soerjo didapuk sebagai anggota.

Pasca Indonesia diproklamasikan sebagai negara merdeka, Presiden Sukarno mengangkat Soerjo sebagai gubernur pertama Jawa Timur. Dalam posisi inilah, Soerjo membuktikan jiwa nasionalismenya: membangun eksistensi kaum republik di Jawa Timur terutama saat berhadapan dengan bala tentara Inggris yang datang ke pulau Jawa sebagai pemenang Perang Dunia II.

Soerjo tak pernah merasa takut dengan “status” Inggris tersebut. Ketika Mayor Jenderal E.C. Mansergh berusaha menggertaknya, ia malah balik menggertak pula pimpinan balatentara Inggris di Surabaya. Termasuk saat ia menolak “panggilan” Mansergh untuk menghadapnya pada 9 November 1945.

Penolakan Soerjo itu melahirkan ultimatum Inggris kepada rakyat Surabaya untuk secepatnya bertekuk lutut. Sebagai wakil Republik Indonesia di Surabaya, Soerjo lantas meminta pendapat Presiden Sukarno di Jakarta. Sukarno mengangkat bahu dan menyerahkan keputusan kepada Soerjo sendiri. Maka setelah berunding dengan jajarannya, maka pada 9 November malam, ia ber diri di depan corong radio. Pidato gubernur Jawa Timur di tengah suasana perang itu sangat jelas: rakyat Surabaya tak sudi bertekuk lutut.

“…Berulang-ulang telah kita kemukakan bahwa sikap kita: lebih baik hancur daripada dijajah kembali…Selamar berjuang!” demikian seruan Soerjo seperti dicatat oleh Nugroho Notosusanto dalam Pertempuran Surabaya.

Dan besok harinya, dunia menjadi saksi betapa tak mudahnya militer Inggris menaklukan perlawanan arek-arek Suroboyo. Kalaupun akhirnya mereka menang, itu terjadi setelah mereka harus melalui 21 hari dalam situasi seperti di neraka.

Lahirnya Seorang Pemimpin

Suatu hari di tahun 1943. Suasana ramai di kantor bupati Magetan tiba-tiba berubah jadi mencekam. Sebagian besar pegawai kabupaten menghindar kala seorang perwira Jepang marah-marah sambil menghunus gunto (pedang panjang khas negeri matahari terbit). Tak jelas benar apa yang menyebabkan si perwira Jepang itu murka dan menebar ancaman, namun yang pasti tak ada satu pun orang-orang di sana saat itu yang berani  bereaksi kecuali seorang lelaki hampir setengah baya.

Raden Mas Tumenggung Aryo Soerjo nama lelaki itu, alih-alih gentar justru mendekati perwira yang tengah kalap tersebut. Dalam nada yang keras namun berwibawa, ia malah balik memarahi sang perwira yang sudah mengganggu ketentraman lingkungan kerjanya. “ Anda ini sudah datang tanpa permisi dan mengenalkan diri, membuat kericuhan pula di sini! Anda harus tahu, karena saya merasa benar saya tidak takut samasekali kepada anda!”bentak lelaki yang tak lain adalah bupati Magetan saat itu.

Dihadapi dengan sikap berani dan elegan seperti itu, sebagai seorang samurai, si perwira menjadi malu. Ia pun menurunkan tensi dan coba membicarakan masalah yang ia tengah hadapi secara baik-baik. Masalah pun berakhir dengan minta maafnya sang perwira karena sudah mengganggu ketentraman orang-orang yang bekerja di komplek kabupaten.

Siapakah Soerjo sebenarnya? Ia tak lain adalah putra ke-2 pasangan Raden Mas Wiryosumarto (Ajun Jaksa Magetan) dan Raden Ayu Kustilah. Lahir di Magetan pada 9 Juli 1896, Soerjo tumbuh dewasa dalam lingkungan sekolah yang menerapkan pendidikan Belanda. Setelah menamatkan pendidikan di Tweede Inlandsche School Magetan, ia lantas melanjutkan ke Hollandsch Inlandsche School (HIS) Magetan.[1]

Kendati dididik dalam lingkungan Belanda, tidak menjadikan Soerjo merasa beda. Laiknya anak-anak desa, ia pun kerap menghabiskan waktu untuk bermain gundu (kelereng), mencari ikan di sungai dan mengembala kerbau di sawah. Tentu saja kenakalan khas anak-anak kampung  juga menjadi bagian masa kecil Soerjo. Menurut Raden Ajeng Kustinah, Soerjo kecil dan kawan-kawannya pernah dikejar-kejar oleh seorang mandor tebu yang terkenal galak.

“Mereka nekad mencuri beberapa batang tebu dari lori (kereta kecil) pabrik untuk dimakan bareng-bareng,” ujar salah satu adik Soerjo itu.[2]

Karena kedua orangtuanya mengharapkan Soerjo menjadi seorang ambtenaar (pamongpraja) laiknya sang ayah, maka ia kemudian dimasukan ke Opleidings School Voor Inlandsche bestuurs Ambtenaar (OSVIA) Madiun. Alih-alih menolak, Soerjo menyambut baik harapan itu yang memang berkelindan dengan cita-citanya untuk menjadi pejabat.

Selama di OSVIA, Soerjo terbilang siswa aktif. Ia sangat gandrung pada berbagai cabang olahraga seperti angkat bes, pencak silati dan senam.Tak aneh jika tubuh Soerjo tegap, sehat dan kekar. Ia pun kerap didapuk sebagai pemimpin olahraga senam di lingkungan sekolah. Selain berolahraga, Soerjo juga menyenangi permainan sulap dan bermain wayang orang. Peran favorit yang kerap dimainkannya adalah memerankan tokoh Semar atau raksasa.

Sebagai anak muda, Soerjo dikenal sebagai seorang pemberani terutama kepada hal-hal yang ia anggap tidak benar. Karena prinsip itu, tak jarang ia harus berkelahi dengan para sinyo Belanda yang selalu meremehkan anak-anak bumiputera. Rasa setia kawan Soerjo juga tak usah diragukan. Kepada sesama kawan yang selalu “ditindas” Soerjo pasti membelanya mati-matian.

“ Eyang pernah membela empat kawannya yang dikeluarkan oleh pihak OSVIA,” ungkap Donny Ariotejo, salah satu cucu dari Soerjo.[3]

Ceritanya, pada 1913 pemerintah Hindia Belanda akan mengadakan pesta besar-besaran terkait 100 tahun bebasnya negeri mereka dari  penjajahan Prancis. Tentu saja niat itu mendapat penolakan dari sebagian tokoh bumiputera. Salah satunya adalah Raden Mas Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantoro. Ia menulis sebuah artikel berjudul Als i keen Nederlander ben (Andaikan saya seorang Belanda). Dalam artikel itu, secara kritis Suwardi bahkan menyebut orang-orang Belanda yang akan merayakan momen itu sebagai tidak tahu diri karena berpesta atas nama kemerdekaan di atas penderitaan orang-orang yang  justru kemerdekaanya sedang mereka tindas.[4]

Semangat penolakan yang dilakukan oleh Suwardi menerobos ruang belajar dan kamar-kamar asrama anak-anak OSVIA. Secara blak-blakan, empat siswa OSVIA malah menolak mentah-mentah untuk ikut merayakan pesta itu. Akibatnya mereka dikucilkan lantas dipecat sebagai siswa sekolah calon pegawai negeri tersebut.

Aksi solidaritas pun muncul terhadap pemecatan itu. Termasuk dari Soerjo. Dengan mengabaikan sanksi akademis yang siap mengancamnya, ia bersama kawan-kawannya melancarkan advokasi dan diam-diam membantu keseharian keempat siswa OSVIA yang dikeluarkan tersebut. Namun konflik itu tentu saja ibarat gajah melawan semut. Soerjo dan kawan-kawannya tetap “kalah” dan permintaan mereka agar pemecatan itu dibatalkan tetap tak digubris pihak OSVIA.

Bisa jadi kegagalan itu menjadikan sikap anti kolonialisme Soerjo semakin menumpuk. Itu terbukti dengan seringnya Soerjo bentrok dengan dengan para sinyo Belanda yang kerap menghina kebumiputeraan mereka. Bahkan salah seorang gurunya yang bernama Sastrohutomo pada suatu hari pernah memergoki Soerjo tengah membersihkan keris pusaka warisan keluarganya.[5]

“Mengapa anak membersihkan pusaka itu?” tanya sang guru

Kangge njagi menawi wonten tiyang ingkang kurang ajar (Untuk berjaga-jaga saja jika ada orang yang mau kurang ajar pada saya),” jawab Soerjo sambil dengan tenang tetap membersihkan keris tersebut.

Sastrohutomo mafhum kepada maksud jawaban anak didiknya itu. Ia bisa memastikan Soerjo tengah siap-siap bertarung sampai mati dengan para sinyo Belanda yang kerap berlaku kurang ajar dan menghina anak-anak OSVIA. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, ia lantas melaporkan soal itu kepada orangtua Soerjo.

Dengan tergopoh-gopoh, Raden Mas Wiryosumarto dan Raden Ayu Kustiah langsung datang ke Madiun. Saat menemui Soerjo, keduanya memberikan nasehat dan petatah petitih agar Soerjo lebih jauh memikirkan masa depannya, dibanding harus menuruti gejolak mudanya. “Pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna…” ujar sang ayah.

Soerjo tak pernah membantah apa-apa yang dikeluarkan oleh mulut kedua orangtuanya. Ia boleh saja marah dan merasa terhina dengan ejekan yang dilontarkan para sinyo Belanda itu, namun ia yakin orangtuanya pasti memiliki harapan dan maksud yang baik dengan memberikan nasehat-nasehat tersebut. Memang hingga hari-hari terakhir di OSVIA, Soerjo bisa menahan perasaan-perasaan itu. Tapi diam-diam ia memupuk semuanya hingga menjadi butiran kristal patriotisme yang menjadi modal utama kelak saat ia ikut mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Pages: 1 2 3 4 5

No Comments so far

Jump into a conversation

No Comments Yet!

You can be the one to start a conversation.

Your data will be safe!Your e-mail address will not be published. Also other data will not be shared with third person.